Ketika Rasulullah Muhammad Saw Tersenyum

Saat menikahkan putri bungsunya, Sayyidah Fatimah Az Zahrah, dengan sahabat Ali bin Abi Thalib, Baginda Nabi Muhammad SAW tersenyum lebar. Itu merupakan kejadian yang penuh kebahagiaan.

Hal serupa juga diperlihatkan Rasulullah SAW pada kejadian Fathu Makkah, pembebasan Makkah, lantaran hari itu merupakan hari kemenangan besar bagi kaum muslimin.
"Hari itu yaitu hari yang penuh dengan senyum panjang yang terukir dari bibir Rasulullah SAW serta bibir seluruh kaum muslimin" tulis Ibnu Hisyam dalam kita As Sirah Nabawiyyah.

Rasulullah SAW yaitu eksklusif yang lembut dan penuh senyum. Namun, ia tidak memberi senyum kepada sembarang orang. Demikian istimewanya senyum Rasul sampai-sampai Abu Bakar dan Umar, dua sahabat utama beliau, sering terperangah dan memperhatikan arti senyum tersebut.

Misalnya mereka heran melihat Rasul tertawa ketika berada di Muzdalifah di suatu tamat malam. "Sesungguhnya Tuan tidak biasa tertawa pada ketika menyerupai ini," kata Umar. "Apa yang mengakibatkan Tuan tertawa?" Pada ketika menyerupai itu, tamat malam, Nabi biasanya berdoa dengan khusyu'.

Menyadari senyuman ia tidak sembarangan, bahkan mengandung makna tertentu, Umar berharap, "Semoga Allah mengakibatkan Tuan tertawa sepanjang umur".

Atas pertanyaan diatas, Rasul menjawab, "Ketika iblis mengetahui bahwa Allah mengabulkan doaku dan mengampuni umatku, dia memungut pasir dan melemparkannya kekepalanya, sambil berseru, 'celaka aku, binasa aku!' Melihat hal itu saya tertawa." (HR Ibnu Majah)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menulis, apabila Rasul dipanggil, ia selalu menjawab, "Labbaik". Ini memperlihatkan betapa ia sangat rendah hati. Begitu pula, Rasul belum pernah menolak seseorang dengan ucapan "tidak" kalau diminta sesuatu. Bahkan ketika tak punya apa-apa, ia tidak pernah menolak usul seseorang. "Aku tidak memiliki apa-apa," kata Rasul, "Tapi, belilah atas namaku. Dan kalau yang bersangkutan tiba menagih, saya akan membayarnya."

Banyak hal yang sanggup menciptakan Rasul tertawa tanpa diketahui alasannya yaitu musababnya. Hal itu biasanya berafiliasi dengan turunnya wahyu Allah. Misalnya, ketika ia sedang duduk-duduk dan melihat seseorang sedang makan. Pada suapan terakhir orang itu mengucapkan. "Bismillahi fi awalihi wa akhirihi." Saat itu ia tertawa. Tentu saja orang itu terheran-heran.

Keheranan itu dijawab ia dengan bersabda, "Tadi saya lihat setan ikut makan bersama dia. Tapi begitu dia membaca basmalah, setan itu memuntahkan masakan yang sudah ditelannya." Rupanya orang itu tidak mengucapkan basmalah ketika mulai makan.

Suatu hari Umar tertegun melihat senyuman Nabi. Belum sempat dia bertanya, Nabi sudah mendahului bertanya, "Ya Umar, tahukah engkau mengapa saya tersenyum?"
"Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu," jawab Umar.
"Sesungguhnya Allah memandang kepadamu dengan kasih sayang dan penuh rahmat pada malam hari Arafat, dan mengakibatkan kau sebagai kunci Islam," sabda beliau.

Kesaksian Anggota Tubuh

Rasul SAW bahkan sering membalas sindiran orang dengan senyuman. Misalnya ketika seorang Badui yang ikut mendengarkan taushiyah ia tiba-tiba nyeletuk, "Ya Rasul, orang itu niscaya orang Quraisy atau Anshar, lantaran mereka gemar bercocok tanam, sedang kami tidak."

Saat itu Rasul tengah menceritakan obrolan antara seorang penghuni nirwana dan Allah SWT yang mohon biar diizinkan bercocok tanam di surga. Allah SWT mengingatkan bahwa semua yang diinginkannya sudah tersedia di surga.

Karena semenjak di dunia punya hobi bercocok tanam, iapun kemudian mengambil beberapa biji-bijian, kemudian ia tanam. Tak usang kemudian biji itu tumbuh menjadi pohon hingga setinggi gunung, berbuah, kemudian dipanenkan. Lalu Allah SWT berfirman. "Itu tidak akan membuatmu kenyang, ambillah yang lain."

Ketika itulah si Badui menyeletuk, "Pasti itu orang Quraisy atau Anshar. Mereka gemar bercocok tanam, kami tidak."

Mendengar itu Rasul tersenyum, sama sekali tidak marah. Padahal, ia orang Quraisy juga.

Suatu ketika justru Rasulullah yang bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian mengapa saya tertawa?."
"Allah dan Rasul-Nya lebih tahu," jawab para sahabat.
Maka Rasul pun menceritakan obrolan antara seorang hamba dan Allah SWT. Orang itu berkata, "Aku tidak mengizinkan saksi terhadap diriku kecuali saya sendiri."
Lalu Allah SWT menjawab, "Baiklah, cukup kau sendiri yang menjadi saksi terhadap dirimu, dan malaikat mencatat sebagai saksi."

Kemudia lisan orang itu dibungkam supaya diam, sementara kepada anggota tubuhnya diperintahkan untuk bicara. Anggota badan itupun memberikan kesaksian masing-masing. Lalu orang itu dipersilahkan mempertimbangkan kesaksian anggota-anggota tubuhnya.

Tapi orang itu malah membentak, "Pergi kamu, celakalah kamu!" Dulu saya selalu berusaha, berjuang, dan menjaga kau baik-baik," katanya.

Rasulpun tertawa melihat orang yang telah berbuat dosa itu menduga anggota tubuhnya akan membela dan menyelamatkannya. Dia mengira, anggota badan itu sanggup menyelamatkannya dari api neraka. Tapi ternyata anggota badan itu menjadi saksi yang merugikan, lantaran memperlihatkan kesaksian yang bekerjsama (HR Anas bin Malik).

Hal itu mengingatkan kita pada ayat 65 surah Yasin, yang maknanya, "Pada hari ini Kami tutup lisan mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan."
Buat lebih berguna, kongsi:
close